Rabu, 20 Mei 2015

SOSOK SENIMAN MINANGKABAU

SOSOK
Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto

Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, yang dikenal Mak Katik adalah seorang budayawan, seniman dan pengajar Indonesia. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang peduli pada masalah seni, budaya, dan adat Minangkabau. Karena penguasaan dan kepedulian tersebut, iapun diundang untuk mengajar sebagai dosen pada University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat, dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia. Sedangkan di dalam negeri, ia mengajar mata kuliah Etnologi Minangkabau dan Falsafah Adat Minangkabau di Universitas Negeri Padang dan Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Mak Katik adalah putra Batipuh, Tanah Datar, Sumatera Barat, dan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Pada tahun 1963, Mak Katik tidak sempat menyelesaikan pendidikan dasarnya karena kesulitan ekonomi, namun ia sudah belajar adat istiadat Minangkabau secara lengkap sejak tahun 1959 pada tiga orang guru yang kebetulan sekampung dengannya, yaitu Rangkai Tuah Kabun, Mak Etek Jaka, dan Datuak Tongga. Setiap malam, ia menyalin pelajaran berupa naskah dalam bentuk paragraf per paragraf pada kertas rokok.
Mak Katik mempelajari seluruh aspek adat istiadat dan budaya minangkabau dari ketiga guru tersebut, seperti membuat pantun, membuat naskah randai (kesenian dalam bentuk perpaduan sandiwara dan gerak tari yang berasal dari pencak silat), bermain saluang (alat musik tiup), menguasai silat Minangkabau, hingga memainkan talempong (alat musik pukul). Dari ratusan murid ketiga guru itu hanya Mak Katik yang berhasil mendapatkan seluruh ilmu dan pengetahuan mengenai adat dan seni budaya Minangkabau, kecuali bermain rabab (alat musik gesek), karena memang tak pernah diajari. Mak Katik terus menimba ilmu hingga ketiga gurunya meninggal dunia pada tahun 1980-an.
Mak Katik Pembuat Rumah Gadang
Mak katik sudah sejak usia SD sudah ikut membantu membangun rumah gadang. Ia membantu kakek dan ayahnya. Ia kerap bermain membuat mainan seperti maket rumah gadang, kincir air, dan sangkar burung dari pim ping. Karenanya, sekolah punia masuk sekolah teknik menengah (STM).
Membuat rumah gadang, jelas mak katik banyak membutuhkan teknik yang tidak digunakan pada pembuatan bangunan biasa. “ orang pakai benang bukan untuk mendapatkan yang lurus, tapi untuk mengikuti bentuk”, katanya menyebut salah satu contoh keanehan itu.
Alatnya pun sebagian unik. Ada banci, semacam cangkul kecil untuk tiang kayu, ada pahat yang ukurannya panjang. Bekerja untuk bidang spesifik seperti itu, tidak ada tempat belajar yang baik, kecuali coba-coba dan belajar dengan praktik langsung. “soalnya tidak ada sekolahnya”, katanya.
Mak katik sudah membuat rumah gadang dibanyak tempat. Tidak pernah ia menghitung berapa jumlahnya. Mulai dari seputar Sumatera Barat hingga menyeberang ke Pulau Jawa. Bekerja membuat rumah gadang , menurut Mak Katik, bagaikan kerja seniman. Pekerjaan yang sulit dipatok batas waktu. Sebab, terkadang pembangunan tertunda, sampai sang pembuat mood melakukannya. Namun, jasa membuat rumah gadang juga diukur pekerjaan per meter Rp 400 ribu, 500 ribu per meter. Untuk membuat rumah gadang, tidak selalu dengan banyak orang. Ia pernah mengerjakan sebuah rumah di Tangerang bertiga dengan anaknya.
Kecintaan Mak Katik pada rumah gadang amat terasa, sejumlah rumah gadang yang menarik di Canduang.

Ukiran Canduang Mak Katik
Konsekuensi pembangunan yang nyaris tidak ada, pembuatan ukiran rumah gadang pun amat jarang. Karena itu mak katik, begitu sapaan warga canduang, lebih banyak menerima order pembangunan gedung perkantoran dan rumah makan. “ pesanan pribadi jarang” ungkapnya.
Keterampilan mengukir didapatnya dengan memperhatikan sang paman mengukir. Maka, setiap pulang sekolah sati belajar sendiri. Lalu, keterampilannya itu ia pakai untuk pekerjaan prakarya disekolah. Dari pengalaman panjangnya mengukir motif tradisional Minangkabau, Mak Sati menyimpan 64 dasar ukiran canduang. Diantaranya motif jalo taserak,bungo barito, itiak pulang patang, rajo tigo selo, harimau dalam parangkok, pisang sasikek.
Ukiran-ukiran itu memiliki aturan penempatan. Ada penempatan ukiran untuk rumah makan, kantor, dan rumah hunian. Pisang sasikek misalnya, untuk rumah gadang , diruang niniak mamak. Harimau dalam parangkok dipasang dalam gedung kantor pemerintahan pada ruangan untuk para pembesar.
Harga ukiran karya sanggar mak sati dinilai panjang per meternya. Harga ukiran di atas kayu surian itu antara Rp 700 ribu hingga Rp 2 juta tergantung dari tingkat kerumitannya.
Karena tidak banyak order dari masyarakat umum, Mak Sati lebih sering menangani proyek pemerintah. “biasanya menggunakan jenis kayu yang murah dan minta pengerjaan yang cepat”, katanya. Diatas semua itu,order yang jarang membuat ia mencemaskan keberlangsungan tradisi ukir minang. Ia amat ingin menurunkan ilmunya pada anak-anak muda yang berminat penuh pada seni ukir minang.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar