SOSOK
Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto
Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, yang
dikenal Mak Katik adalah seorang budayawan, seniman dan
pengajar Indonesia. Ia dikenal sebagai seorang tokoh yang peduli pada
masalah seni, budaya, dan adat
Minangkabau. Karena penguasaan dan kepedulian
tersebut, iapun diundang untuk mengajar sebagai dosen pada University of Hawaii, Manoa, Amerika
Serikat, dan Akademi Seni Warisan Budaya Kebangsaan Malaysia. Sedangkan di dalam negeri, ia mengajar mata kuliah
Etnologi Minangkabau dan Falsafah Adat Minangkabau di Universitas Negeri
Padang dan Universitas
Andalas, Padang, Sumatera
Barat.
Mak Katik adalah putra
Batipuh, Tanah Datar,
Sumatera Barat, dan merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Pada tahun
1963, Mak Katik tidak sempat menyelesaikan pendidikan dasarnya karena kesulitan
ekonomi, namun ia sudah belajar adat istiadat Minangkabau secara lengkap sejak
tahun 1959 pada tiga orang guru yang kebetulan sekampung dengannya, yaitu
Rangkai Tuah Kabun, Mak Etek Jaka, dan Datuak Tongga. Setiap malam, ia menyalin
pelajaran berupa naskah dalam bentuk paragraf per paragraf pada kertas rokok.
Mak Katik mempelajari seluruh
aspek adat istiadat dan budaya
minangkabau dari ketiga guru
tersebut, seperti membuat pantun,
membuat naskah randai (kesenian dalam bentuk perpaduan
sandiwara dan gerak tari yang berasal dari pencak
silat), bermain saluang (alat
musik tiup), menguasai silat Minangkabau,
hingga memainkan talempong (alat musik pukul). Dari ratusan murid
ketiga guru itu hanya Mak Katik yang berhasil mendapatkan seluruh ilmu dan
pengetahuan mengenai adat dan seni budaya Minangkabau, kecuali bermain rabab (alat musik gesek), karena
memang tak pernah diajari. Mak Katik terus menimba ilmu hingga ketiga gurunya
meninggal dunia pada tahun 1980-an.
Mak Katik
Pembuat Rumah Gadang
Mak katik sudah sejak usia SD sudah ikut membantu
membangun rumah gadang. Ia membantu kakek dan ayahnya. Ia kerap bermain membuat
mainan seperti maket rumah gadang, kincir air, dan sangkar burung dari pim
ping. Karenanya, sekolah punia masuk sekolah teknik menengah (STM).
Membuat rumah gadang, jelas mak katik banyak membutuhkan
teknik yang tidak digunakan pada pembuatan bangunan biasa. “ orang pakai benang
bukan untuk mendapatkan yang lurus, tapi untuk mengikuti bentuk”, katanya
menyebut salah satu contoh keanehan itu.
Alatnya pun sebagian unik. Ada banci, semacam cangkul
kecil untuk tiang kayu, ada pahat yang ukurannya panjang. Bekerja untuk bidang
spesifik seperti itu, tidak ada tempat belajar yang baik, kecuali coba-coba dan
belajar dengan praktik langsung. “soalnya tidak ada sekolahnya”, katanya.
Mak katik sudah membuat rumah gadang dibanyak tempat. Tidak
pernah ia menghitung berapa jumlahnya. Mulai dari seputar Sumatera Barat hingga
menyeberang ke Pulau Jawa. Bekerja membuat rumah gadang , menurut Mak Katik,
bagaikan kerja seniman. Pekerjaan yang sulit dipatok batas waktu. Sebab,
terkadang pembangunan tertunda, sampai sang pembuat mood melakukannya. Namun,
jasa membuat rumah gadang juga diukur pekerjaan per meter Rp 400 ribu, 500 ribu
per meter. Untuk membuat rumah gadang, tidak selalu dengan banyak orang. Ia pernah
mengerjakan sebuah rumah di Tangerang bertiga dengan anaknya.
Kecintaan Mak Katik pada rumah gadang amat terasa,
sejumlah rumah gadang yang menarik di Canduang.
Ukiran Canduang
Mak Katik
Konsekuensi pembangunan yang nyaris tidak ada, pembuatan
ukiran rumah gadang pun amat jarang. Karena itu mak katik, begitu sapaan warga
canduang, lebih banyak menerima order pembangunan gedung perkantoran dan rumah
makan. “ pesanan pribadi jarang” ungkapnya.
Keterampilan mengukir didapatnya dengan memperhatikan
sang paman mengukir. Maka, setiap pulang sekolah sati belajar sendiri. Lalu,
keterampilannya itu ia pakai untuk pekerjaan prakarya disekolah. Dari pengalaman
panjangnya mengukir motif tradisional Minangkabau, Mak Sati menyimpan 64 dasar
ukiran canduang. Diantaranya motif jalo taserak,bungo barito, itiak pulang patang,
rajo tigo selo, harimau dalam parangkok, pisang sasikek.
Ukiran-ukiran itu memiliki aturan penempatan. Ada penempatan
ukiran untuk rumah makan, kantor, dan rumah hunian. Pisang sasikek misalnya, untuk
rumah gadang , diruang niniak mamak. Harimau dalam parangkok dipasang dalam
gedung kantor pemerintahan pada ruangan untuk para pembesar.
Harga ukiran karya sanggar mak sati dinilai panjang per
meternya. Harga ukiran di atas kayu surian itu antara Rp 700 ribu hingga Rp 2
juta tergantung dari tingkat kerumitannya.
Karena tidak banyak order dari masyarakat umum, Mak Sati
lebih sering menangani proyek pemerintah. “biasanya menggunakan jenis kayu yang
murah dan minta pengerjaan yang cepat”, katanya. Diatas semua itu,order yang
jarang membuat ia mencemaskan keberlangsungan tradisi ukir minang. Ia amat
ingin menurunkan ilmunya pada anak-anak muda yang berminat penuh pada seni ukir
minang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar